Kisah Organisasi Penggerak di NTT, Hadapi Sulitnya Kondisi Geografis

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Program Organisasi Penggerak (POP) pada Maret 2020 lalu sebagai bagian dari Merdeka Belajar. Lebih dari 100 organisasi masyarakat terpilih menjadi mitra Kemendikbudristek untuk program tersebut.
Salah satu organisasi yang lolos seleksi menjadi mitra program tersebut adalah Yayasan Labda Radmila Agrapana (YLRA). Yayasan ini memilih berkarya di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT). Seperti diketahui, daerah ini masuk dalam kategori daerah tertinggal menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2020.

Koordinator Program YLRA untuk POP di Sumba Tengah, Lorensius Gatot Widyarto menyampaikan, dalam bidang pendidikan, akses anak-anak usia sekolah di wilayah kabupaten Sumba Tengah untuk mendapatkan kesempatan belajar terbilang rendah. Belum lagi persoalan sarana prasarana serta akses pada sumber belajar dan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

“Masalah-masalah dalam bidang pendidikan di Sumba Tengah ini memang bisa dibilang memprihatinkan. Kesempatan sekolah masih terbatas untuk pihak tertentu. Bagi mereka yang sudah berkesempatan untuk dapat bersekolah pun masih belum mendapatkan jaminan pendidikan yang berkualitas dari sekolahannya. Problematika pendidikan di Sumba Tengah memang memiliki kompleksitas yang tinggi” ujar Gatot pada detikEdu, pekan lalu.

Ia menyambung, “Tapi itu bukan menjadi halangan bagi kami untuk peduli dan bergerak di bidang pendidikan di wilayah ini. Justru dengan segala kondisi yang ada kami terpanggil untuk dapat memberikan aksi nyata sebagai sebuah organisasi yang memilih untuk bergerak bersama-sama masyarakat sebagai mitra untuk memberikan andil bagi kemajuan kualitas pendidikan di wilayah ini.”

Dalam program POP di Sumba Tengah, YLRA menggandeng komunitas lokal mendampingi kepala sekolah dan guru kelas awal di 10 sekolah dasar baik negeri dan swasta. Seperti di antaranya SDN Manurara, SDN Pari Deta, SD Inpres Uma Paohi, SD Masehi Maderi, SDN Waiurang, SD Masehi Pahomba, dan SD Masehi Soru.

Menurut Gatot, proses pendampingan dimulai dari pelatihan metode literasi berimbang berbasis fonik yang akan diberikan pada guru-guru kelas awal.

“Fasilitator atau pengajar dari YLRA akan mendampingi pelaksanaan metode yang telah dilatihkan tersebut dalam pengajaran di kelas. Pendampingan juga difokuskan untuk membiasakan guru kelas awal membuat rencana pelaksanaan pembelajaran sebelum memulai pelaksanaan pembelajaran di kelas,” ujar Gatot.

Menurut Gatot, pendampingan rutin terhadap guru-guru ini bertujuan untuk menambah referensi metode pengajaran guru dalam bidang literasi baca tulis serta agar guru mampu dan terbiasa menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dengan memasukkan unsur literasi berimbang berbasis fonik sesuai kurikulum, konten lokal, dan kebutuhan siswa.

Tak seperti di Pulau Jawa yang kondisi infrastruktur relatif baik, pendampingan di Sumba Tengah menghadapi tantangan besar terutama akses transportasi dan jalan ke sekolah yang didampingi. Pasalnya, kondisi geografis wilayah tersebut sebagian besar berbukit-bukit dengan jalan yang tak mulus.

Kondisi jalan yang terbilang tak mulus dengan medan yang menantang tak surutkan semangat fasilitator untuk melakukan pendampingan.
“Kendala teknis seringkali ditemui sehingga menghambat proses pendampingan, misal akses jalan yang rusak membuat ban motor mudah rusak dan sebagainya. Belum lagi ketika ada respon negatif terhadap usaha-usaha kami dalam meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah atau sekolah sasaran,” katanya.

Hanya saja menurut Gatot kesulitan tersebut terbayar dengan kebahagiaan untuk berbagi dan berdiskusi bersama guru-guru kelas awal serta berproses dan berdinamika bersama siswa kelas awal. “Mengikuti perkembangan siswa dari waktu ke waktu juga menjadi hal yang kami sukai sehingga kami semakin mengenal wilayah dan masyarakat kami,” ujarnya.

Ia menyambung,”Selain itu program ini mewujudkan harapan kami untuk memberikan sumbangsih pada institusi pendidikan di wilayah kami sebagai warga masyarakat lokal. Kami juga bisa melihat dampak positif bagi siswa-siswa yang kelak akan menjadi generasi penerus bagi wilayah ini.”

Kepala SDN Manurara Jongu Ibini Peka yang mendapat pendampingan dari program POP Kemendibudristek melalui YLRA mengungkapkan program tersebut sangat membantu kepala sekolah dan pelaksanaan tugas guru-guru kelas awal.

“Pendampingan ini membuat guru-guru yang baru mengajar di kelas awal mendapatkan pengetahuan baru dan menyiapkan guru-guru baru tersebut sebagai penerus bagi guru-guru yang akan purnabakti,” ujarnya.

Dalam kunjungan ke Kalimantan Barat akhir Oktober 2022 lalu, Menteri Nadiem mengungkapkan apresiasi pada mitra-mitra POP. Salah satunya Forum Indonesia Menulis (FIM) yang menyasar 920 sekolah di 14 kabupaten/kota di Kalimantan Barat dengan total 2.300 guru dan kepala sekolah.

Nadiem memandang kebijakan Merdeka Belajar merupakan bukti bahwa gotong royong bisa dilakukan di daerah-daerah sasaran yang selama ini sulit mendapatkan intervensi dari pemerintah.

“Justru melalui mitra-mitra POP inilah, gerakan Merdeka Belajar dapat digapai. Berkat para mitra POP ini, sekolah-sekolah yang berada di daerah seperti di Kalimantan Barat bisa mendapatkan program peningkatan kompetensi,” ujarnya.

Artikel ini dipost ulang dengan ijin dari penulis dari

https://www.detik.com/edu/sekolah/d-6454078/kisah-organisasi-penggerak-di-ntt-hadapi-sulitnya-kondisi-geografis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *